selingan ::CERPEN::

 Buah Ketegaran


           Ini jadi hari pertamaku menjadi siswi kelas 9 SMP. Rasanya, di dalam dadaku ini ada perasaan senang, sedih, dan kagum. Senang karena sebentar lagi akan lulus, sedih karena akan berpisah dengan semua teman-teman, dan kagum akan status ‘kelas 9’ ku sekarang ini. Sombong memang, tapi ini yang aku rasakan. 
            Perasaanku semakin tak tertahankan setelah melihat teman-temanku yang sudah berkumpul di sekolah. Ku hampiri mereka yang tengah bersenda gurau. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tidak terlalu memikirkannya. Yang saat itu kupikirkan adalah di mana kelas ku dan sekelas dengan siapa aku? Tak berapa lama, sebuah pengumuman terdengar.
            “Bagi kelas 8 dan kelas 9, silahkan mencari kelasnya masing-masing sesuai daftar nama yang sudah ditempelkan di depan kelas. Terima kasih.”
            Semua temanku yang awalnya hanya berdiam diri, kini mulai berhamburan mencari namanya di daftar nama. Harapannya cuma satu, bisa sekelas lagi dengan teman lama. Tapi, tidak sedikit yang bersedih. Sebagian besar dari mereka merasa kecewa karena terpisah kelas dengan teman sebangku ataupun teman sekalas.
            Yah, itulah hidup. Kini giliranku yang beraksi. Ku baca setiap daftar nama yang ada, dari kelas 9a, 9b, 9c, sampai akhirnya ku tertuju pada sebuah nama yaitu “OLA PRIYANTI, ya itu namaku yang tertera di daftar nama kelas 9e. Oh my God, kelas 9e, dan.. cuma sedikit yang kukenal. Bagaimana ini?. Pikiranku melayang tak karuan. Sebuah suara memanggilku dari belakang. Bisa ku tebak itu siapa. Delin Lestari, temanku waktu kelas 8.
            “Di mana kelasmu, La?” tanya Delin
            “Yah, bisa ditebakkan, di kelas paling terakhir.” jawabku loyo.
            “Tetanggaan dong kita.” celetuk Elen yang tiba-tiba datang.
            “Yah gitu deh.” responku tak semangat.
            “Oh, aku balik dulu ya. Dah.”
            “Dah.” jawabku dan Elen.
            Aku dan Elen masih menunggu di luar kelas, sembari bercengkrama mengingat-ingat kejadian saat kelas 8 dulu. Pembicaraan kami terhenti saat guru yang membawa kunci kelas Elen datang. Yah, inilah takdir, pikirku. Aku bersandar di dinding kelasku sambil membaca daftar nama yang tertempel di pintu kelas. Ternyata tidak terlalu buruk masuk kelas ini, mungkin mereka lebih asik, lamunku. Ku tersadar saat seorang guru wanita berkerudung datang menghampiri kami, beliau mengatakan bahwa ruangan kelas kami untuk sementara tidak bisa digunakan. Akhirnya kami dipindahkan ke perpustakaan.
            Seperti orang yang tak ingin kehabisan obral, kami segera lari tanpa mempedulikan yang lain, masuk ke dalam perpustakaan, dan mencari-cari tempat duduk. Aku mengedarkan pandangan ke sekitarku, lumayan banyak teman-teman yang baru aku kenal, termasuk Ani Priskilia. Kayak sebuah keberuntungan gitu, aku bisa sekelas sama Ani. Waw!
           Karena asyiknya mengagumi Ani, aku hampir tak sadar guru itu telah memperkenalkan dirinya. Maklum, teman-teman baruku hebohnya luar biasa seperti sedang berada di pasar ikan yang mengadakan diskon besar-besaran.
            “Pagi, anak-anak.” sapa guru berkerudung itu.
            “Pagi.” jawab kami hampir serempak.
           “Perkenalkan, nama Ibu, Dwi,S.Pd. Kalian bisa panggil Ibu, Bu Dwi. Ibu mengajar bidang studi PKn dan Kesenian Daerah dan mulai sekarang, Ibu akan menjadi wali kelas kalian.”
            “Iya, Bu.”
Setelah perkenalan Bu Dwi, pengurus kelas pun dipilih. Semua teman laki-laki di kelasku menyebutkan beberapa nama. Entah nama siapa yang mereka sebut, aku tidak terlalu memperhatikannya, tapi mataku terus tertuju pada seorang anak laki-laki yang berpenampilan agak lusuh. Jangan nilai orang dari luarnya Ola, yakinku dalam hati. Ku alihkan pandanganku ke Bu Dwi dan tak memperhatikan anak laki-laki itu lagi.
Keesokan harinya, kami semua menempati ruangan kelas yang sudah ditentukan, mencari tempat duduk dan menyusun jadwal piket harian. Ku pandang  jadwal piket yang terpampang di kelas. Wah, wah, asyik, ku satu jadwal piket dengan Ani, pikirku. Ternyata tidak Ani saja yang satu jadwal piket denganku, anak laki-laki lusuh itu juga satu jadwal piket denganku. Namanya Anto. Ku alihkan pandangan ke arahnya, menatap wajahnya secara seksama. Terlihat dari raut wajahnya tidak ada perasaan kecewa masuk kelas ini, malahan senyum kepuasan dan kemenangan yang ku lihat. Dia berbeda sekali denganku, pikirku.
            Sebenarnya Anto adalah anak yang baik dan sedikit usil, tapi menurutku itu wajar-wajar saja. Dia juga termasuk anak yang cepat mengerti dengan penjelasan guru-guru, sampai-sampai aku dibuat iri olehnya. Sampai akhirnya beberapa bulan sebelum UN, aku mengetahui latar belakang keluarganya. Dia dilahirkan dari keluarga yang pas-pasan, ayahnya seorang penarik becak dan ibunya hanyalah seorang ibu rumah tangga.
            Anto sempat tak ingin turun sekolah karena mendapat ejekan dari teman satu kelasku. Ibu Anto sempat mendatangi Bu Dwi dan mengatakan apa yang dialami Anto. Aku yang mendengar cerita Bu Dwi sempat geram dengan teman laki-laki di kelasku. Teman sih teman, tapi kalo gini ceritanya, nggak pantas disebut teman lagi, geramku sambil menoleh ke arah mereka semua, menatap semua wajah-wajah yang telah melakukan hal sekejam itu pada Anto.
           Beberapa minggu setelah kejadian itu, Anto jadi jarang absen dan menjadi lebih ceria daripada biasanya. Dia jadi lebih fokus dengan persiapan UN senyumannya pun tak pernah pudar lagi sejak saat itu. Dia tidak segan-segan lagi untuk bertanya tentang soal yang tidak dia mengerti. Dan kini, Anto telah berubah. Sampai UN pun datang, dia tetap percaya diri dengan hasil belajarnya selama ini.
            Tapi, senyumnya agak memudar setelah selesai UN. Kami berencana akan melakukan acara rekreasi bersama dan semua anak kelas 9 boleh ikut dan boleh tidak. Aku yang saat itu menjadi salah satu anggota panitia, mendata teman-teman sekelasku yang ingin ikut, dan termasuk Anto.
            “To, pengen ikut acara rekreasi sekolah nggak?”
            “Euhm, mikir dulu boleh nggak?’
            “Boleh aja. Kalau kamu ikut, kasih surat izinnya ke aku ya.”
            “Sip.”
            Dan setiap kali kami bicara tentang rekreasi, wajahnya berubah menjadi muram. Ada apa dengan Anto? Apa dia nggak bisa ikut? Kenapa? Apa karena kondisi keuangan Orang Tuanya?, semua pertanyaan itu mengiang-ngiang di telingaku sampai akhirnya ku ceritakan ketidakikutannya Anto kepada Bu Dwi. Bu Dwi yang juga heran dengan sikap Anto akhirnya menanyakannya langsung.
            “Anto, kamu nggak ikut rekreasi?
            “Ng, ng, ng,”
            “Kenapa Anto?”
            “Saya nggak ikut, Bu.”
            “Kenapa?”
            “Saya takut menyusahkan Orang Tua saya hanya untuk rekreasi saja Bu.”
            “Kamu bisa pakai uang kas kelas kita, Anto.”
            “Nggak perlu, Bu.”
            “Benar?”
            “Benar, Bu.”
            “Ya sudah, Ibu tidak memaksa kamu. Tapi kalau kamu berubah pikiran, bilang dengan Ibu ya.”
            “Iya, Bu.”
            Yah, keputusannya sudah bulat, tidak ikut rekreasi bersama kami. Dia lebih memilih untuk membantu Orang Tuanya mencari penghasilan tambahan.
Beberapa hari setelah acara rekreasi itu, aku jarang lagi melihat Anto. Hanya beberapa kali aku melihatnya, itu pun kalau sempat memperhatikan orang-orang yang ada di sekitarku. Aku terlalu sibuk memfotocopy SKHUN, melegalisirnya dan mencari info tentang persyaratan masuk SMA. Mungkin saat itu hari terakhirku melihat Anto. Seorang anak laki-laki yang berusaha tegar dengan cobaan yang dia hadapi. Walaupun dia sempat jatuh, tapi dia bangkit secepat mungkin. Aku salut dengan Anto, salut sekali. Sekarang dia diizinkan pamannya untuk tinggal bersamanya dan bersekolah di sana, di Kota Semarang. Aku cuma bisa berharap, semoga dia bisa mendapatkan kebahagiannya di Semarang dan tidak ada lagi yang mengejeknya seperti di sini.
Semangat Anto, semoga kau lebih sukses daripada di sini kawan.

Komentar